Selasa, 08 November 2016

TIMOR TIMUR - MONUMEN KEJENIUSAN SOEHARTO



TIMOR, maksudnya Timor Timur, memang sangat penting artinya bagi Soeharto pribadi dan rezimnya. Timor Timur adalah lambang kesetiaan Soeharto dan rezimnya terhadap negara super power Amerika Serikat. Dalam cakupan yang lebih sempit, sejarah nasional, Timor Timur adalah piala kebanggaan Pak Harto untuk mengimbangi prestasi patriotis Bung Karno, yang berhasil menyatukan Papua ke dalam dekapan negara dan bangsa Indonesia.

Alangkah cepatnya bangsa ini lupa. Rasanya baru kemarin, anak-anak sekolah di seluruh negeri ini didoktrin mengenai provinsi ke-27. Mengenai saudara-saudara sebangsa yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dan, rasanya masih segar dalam ingatan, betapa Soeharto tampak bangga dan tersenyum sumringah, ketika meresmikan pabrik mobil nasional (mobnas) milik putra kandungnya, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Timor, itulah nama yang diberikan Soeharto untuk merek mobil nasional yang sejatinya buatan Korea Selatan itu. Pemberian nama itu sebenarnya mengherankan, karena menyimpang dari kecenderungan sang diktator pada masa itu. Kita tahu, Soeharto pada dekade terakhir kekuasaannya sudah semakin mirip seorang raja, dengan nuansa budaya Jawa Tengah yang kental — termasuk menggunakan primbon saat mengambil kebijakan kenegaraan yang penting. Contohnya pesawat komuter CN-235, produk kebanggaan industri pesawat terbang Nurtanio, oleh Soeharto diberi nama "Tetuko". Lantas, mengapa mobil nasional yang kontroversial itu diberinya nama "Timor"?

Di sisi lain, Timor Timur seperti halnya Aceh adalah alat yang pas untuk siasat cerdik Soeharto, membuat tentara sibuk dalam jangka waktu cukup panjang, agar jangan terulang kembali kejadian moncong tank yang diarahkan ke Istana Negara — seperti yang dialami Bung Karno. Namun bagi rakyat Indonesia, Timor Timur adalah bukti "kejeniusan" Soeharto yang tak terlupakan. Dia korbankan ratusan triliun rupiah, hasil keringat bangsa ini, untuk petualangan yang dungu dan sia-sia, di wilayah tandus yang hanya cocok ditanami kopi itu. Dan, Soeharto hanya duduk manis seperti penonton, ketika puluhan ribu tentara kita terpaksa mundur dari wilayah Timor Timur, dengan label sebagai tentara pendudukan yang kalah. Soeharto tak mengatakan sepatah kata pun, sekadar untuk menghibur puluhan ribu tentara kita yang terpaksa keluar dari provinsi ke-27 itu dengan hati yang hancur dan harga diri terluka, karena tak diijinkan bertempur dan mati demi mempertahankan Merah Putih tetap berkibar di Timor Timur. Puluhan ribu tentara kita terpaksa mundur dari tanah yang diyakininya sebagai bagian dari Tanah Tumpah Darahnya, bagian dari wilayah negaranya yang berdaulat seperti dinyatakan dalam Keputusan MPR. Bukankah itu pengalaman yang benar-benar menyakitkan bagi puluhan ribu laki-laki yang memang dilatih untuk tugas suci itu, untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI? Bukankah hari itu, sesungguhnya dan sejujurnya, adalah hari kekalahan kita sebagai sebuah bangsa?

Bolehkah kita melupakannya begitu saja? Pada dekade 90-an kita menyaksikan perubahan situasi dunia yang dramatis. Negara super power Uni Soviet runtuh dari dalam, menyusul kemudian Tembok Berlin dirubuhkan. Itu menandai berakhirnya era Perang Dingin yang sudah berlangsung hampir 40 tahun, yaitu persaingan ideologis Blok Barat (AS dan sekutu-sekutunya) dengan Blok Timur (Uni Soviet). Tetapi Soeharto, yang memang kurang cakap urusan politik dan diplomasi internasional, tidak mengantisipasi sama sekali dampak perubahan global tersebut. Anak petani asal Kemusuk itu masih juga menggertak rakyat mengenai ancaman kembalinya komunis. Masih tetap represif terhadap kelompok-kelompok yang kritis mengoreksi kepemimpinannya yang makin korup, nepotis dan menyakiti rakyat. Dan masih pula mengandalkan bedil dan penjara untuk mengendalikan Timor Timur. Soeharto tidak mengantisipasi, bahwa konsekuensi logis dari perubahan situasi politik global adalah berubahnya strategi Amerika Serikat dalam mempertahankan hegemoninya di seluruh dunia. Pendek kata, AS tidak lagi menganggap komunis sebagai ancaman, sehingga para pemimpin anti-komunis seperti Soeharto tidak dibutuhkan lagi sebagai sekutu. Khusus mengenai Timor Timur, AS menunjukkan sinyal melepaskan dukungannya, melalui pemberlakuan embargo senjata terhadap Indonesia. Embargo tersebut adalah tamparan buat Soeharto, sekaligus menurunkan wibawanya di mata para jenderal ABRI. Sebagai pembanding, di kala perang merebut Irian Barat dari Belanda, Soekarno mampu mengatasi embargo semacam itu. Dengan kelihaiannya berdiplomasi, presiden pertama RI itu mendapatkan suplai persenjataan berat dari Uni Soviet.

Tapi sebenarnya, pesan paling penting yang disampaikan Pentagon melalui pemberlakukan embargo itu adalah menarik dukungan yang telah diberikan selama 30 tahun terhadap rezim Soeharto. Orang Medan menyebutnya pekong alias pecah kongsi. Dan sejarah membuktikan, setiap diktator yang tak didukung lagi oleh AS pasti jatuh. Contoh paling menonjol kejatuhan Shah Iran Reza Pahlevi dan diktator Filipina Ferdinand Marcos. Perubahan sikap AS tentu menyakitkan bagi Soeharto, yang sejak hari pertama menjadi penguasa Indonesia selalu bersikap sebagai "keponakan" yang patuh terhadap Paman Sam. Tak terhitung banyaknya kebijakan Soeharto yang mencekik rakyat Indonesia, termasuk mengizinkan kaum kapitalis barat menguras habis kekayaan alam negeri ini, asalkan dia bisa menyenangkan AS. Krisis kedele yang terjadi baru-baru ini adalah akibat kepatuhan Soeharto kepada AS, lewat kebijakan yang menyebabkan Indonesia tergantung pada impor kedele dari negara koboi itu.

Pencaplokan Timor Timur juga merupakan servis Soeharto untuk Gedung Putih. Awalnya tahun 1974, Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger diam-diam menemui Soeharto di Cendana, dengan sebuah perintah singkat: Indonesia harus kuasai Timor Timur sekarang juga. Pesan itu disertai peringatan QQC, agar Indonesia mencaplok Timor Timur dengan Quick, Quiet and Clear. Lakukan dengan cepat, jangan berisik dan beres. Ternyata rezim Soeharto mengerjakannya dengan LRS: Lama, Ribut dan Sadis; termasuk pembunuhan beberapa wartawan asing yang membuat dunia internasional marah. Tekanan terhadap Soeharto makin bertambah, karena sejumlah jenderal Angkatan Darat mulai berani mengkritik perilaku anak-anak Soeharto yang terlalu tamak dalam mencari uang, dengan memanfaatkan kekuasaan bapaknya sebagai presiden. Para jenderal itu bahkan mulai menyarankan secara halus, agar demokratisasi mulai dijalankan, dan proses mundurnya Soeharto dari panggung kekuasaan harus segera dipersiapkan. Soeharto merespon imbauan para jenderal itu sebagai tanda-tanda pembangkangan. Tapi karena tidak berani menindak para jenderal itu, dia berpaling mencari dukungan dari kalangan politik Islam, dengan mengangkat Habibie sebagai operator yang kemudian membentuk ICMI. Pertarungan politik inilah yang membuat kebijakan pemerintah mengenai Timor Timur diwarnai dualisme. Kalangan militer menghendaki kucuran dana untuk pembangunan propinsi itu ditingkatkan, sebaliknya kalangan sipil yang dipimpin Habibie lebih memprioritaskan proyek-proyek populis untuk memobilisasi dukungan rakyat miskin, dan juga prioritas industri pesawatnya yang terkenal boros itu.

Aneksasi Timor Timur yang dilakukan rezim Soeharto adalah petualangan yang dungu, mahal dan dan sia-sia. Pengorbanan nyawa ribuan putra-putra bangsa. Hasil keringat ratusan juta penduduk, dikorbankan untuk membangun dusun-dusun primitif di Timor Timur menjadi kota-kota dan desa-desa modern. Anak-anak mereka yang buta huruf dididik sampai menjadi sarjana. Tapi apa imbalannya bagi rakyat Indonesia? Cuma satu kata: PENJAJAH. Suka atau tidak, itulah kenyataannya. Kita semua, Bangsa Indonesia, akan selalu dikenang oleh rakyat Timor Leste sebagai PENJAJAH. Sungguh ironis dan menyedihkan. Dengan semua yang telah dikorbankan oleh rakyat Indonesia demi kemajuan Timor Timur, dengan semua kata-kata agung dan indah "kemerdekaan adalah hak segala bangsa" yang tertulis dalam Mukaddimah UUD 45; dengan segala keberanian dan kepioniran Bung Karno mendorong kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika, dengan pidato Bung Karno "Mankind is One" yang sangat menggetarkan Sidang Umum PBB, ternyata kita adalah bangsa PENJAJAH. Kita tidak menaruh dendam pada rakyat Timor Timur, hanya lantaran "saudara-saudara sebangsa" itu tak sudi hidup bersama dengan kita, di bawah panji Merah Putih. Sebaliknya kita harus memuji, dengan memilih merdeka mereka telah membebaskan diri dari sejarah kita yang gelap dan berlumur darah, dan dari beban utang luar negeri yang tidak bakal lunas sampai tujuh turunan. MERDEKA!


TIMOR TIMUR, ANAK HILANG YANG BENAR-BENAR HILANG



Timor Timur, wilayah yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia, kini telah menjadi sebuah negara berdaulat yang bernama "Timor Leste". Timor Timur awalnya merupakan wilayah jajahan Portugal hingga tahun 1975, yang kemudian berintegrasi dengan Indonesia sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat Timor Timur saat itu. Selama Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Timor Timur menikmati kesejahteraan dan kemajuan yang lebih baik dibandingkan masa penjajahan Portugis dan setelah melepaskan diri dari NKRI. Timor Timur akhirnya lepas dari NKRI setelah hasil jajak pendapat yang diadakan Presiden B.J. Habibie pada tahun 1999.


MASA KOLONIAL PORTUGIS

Bangsa Portugis menjajah Timor Timur selama kurang lebih 450 tahun. Rakyat Timor Timur hidup dalam kemiskinan, sebagian besar rakyat buta huruf, dan penuh diskriminasi bahkan dalam pendiskriminasian, penduduk pribumi dilarang menginjak jalan aspal. Sebuah diskriminasi yang dapat dinilai keterlaluan. Hanya ada sedikit sekali lulusan akademi yang dihasilkan bangsa Portugis selama menjajah Timor Timur. Orang-orang pada umumnya hanya tahu Ir. Mario Viegas Carrascalao. Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan ilmuwan, di tahun 1861 pernah mencatat kondisi kota Dili sebagai pusat administrasi Timor Portugis: "Tempat paling miskin bahkan dibandingkan kota-kota termiskin di Hindia Belanda sekalipun. Tak ada tanda-tanda orang bercocok tanam atau peradaban di sekitarnya." Bisa dikatakan nasib bangsa Indonesia ketika dijajah Belanda lebih beruntung walaupun yang namanya penjajahan selalu tidak enak.

Pemberlakuan pemberian finta (upeti) kepada pemerintah kolonial Portugis menimbulkan kebencian di antara para liurai (raja setempat) dan pernah timbul perlawanan pada tahun 1710. Pemberontakan tahun 1710 ini memaksa orang-orang Portugis memindahkan pusat administrasi kolonialnya dari Lifau ke Dili untuk seterusnya sampai orang-orang Portugis hengkang dari bumi Lorosae pada tahun 1975. Pada tahun 1859, gubernur Timor Portugis Afonso de Castro membuat kebijakan tanam paksa yakni tanaman untuk diekspor khususnya kopi. Kebijakan yang menyengsarakan rakyat ini kembali menimbulkan perlawanan terhadap penjajah Portugis yang dipimpin oleh para liurai pada tahun 1861. Sistem kerja paksa kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jose Celestino da Silva dalam bentuk pembangunan jalan. Di tahun 1908, Gubernur da Silva juga mengganti finta dengan pajak kepala.

Perlawanan liurai yang terbesar dan terakhir adalah perlawanan yang dipimpin oleh Dom Boaventura (liurai Manufahi). Dom Boaventura melanjutkan perlawanan ayahnya, Dom Duarte, yang dipaksa menyerah di tahun 1900. Ia mulai mengadakan perlawanan di tahun 1911. Pemerintah kolonial Portugis mengerahkan pasukan pribumi Timor Portugis ditambah pasukan yang didatangkan dari Afrika Timur Portugis (sekarang Mozambik). Perlawanan berhasil ditumpas pada tahun 1912. Diperkirakan 25 ribu orang tewas selama kampanye menumpas perlawanan Dom Boaventura. Sang liurai ditangkap dan diasingkan ke Pulau Atauro sampai akhir hidupnya. Kemudian pemerintah Timor Portugis memberikan kewenangan langsung kepada suco (desa) sebagai pemerintahan lokal. Dengan demikian, kekuasaan dan pengaruh para liurai menjadi kecil dan penjajah Portugis dapat mengontrol secara langsung hingga ke pedalaman.

Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) yang mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor Timur: APODETI; FRETILIN; UDT; TRABALHISTA; dan KOTA. UDT (Uniao Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal. APODETI (Associacao Popular Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat. Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Dua partai kecil lainnya, KOTA (Klibur Oan Timor Aswain) menginginkan pemerintahan tradisional yang fokus pada kepemimpinan liurai sedangkan TRABALHISTA yang didukung oleh komunitas Tionghoa dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali. Secara garis besar, dua partai kecil ini sejalan dengan cita-cita APODETI.

Kerusuhan dan pertumpahan darah merebak ke seluruh bumi Lorosae. Dari sisi kekuatan senjata, FRETILIN merupakan fraksi yang terkuat sebab mendapat dukungan dari pasukan pribumi militer Timor Portugis. Pasukan FRETILIN memberikan perlawanan yang hebat baik terhadap pasukan UDT maupun pasukan APODETI. UDT akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tujuan utamanya mempertahankan Timor Timur berada di bawah Portugal dan bersatu dengan APODETI untuk menghadapi FRETILIN. FRETILIN membantai puluhan ribu rakyat yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia termasuk beberapa tokoh APODETI. Gubernur Timor Portugis waktu itu (gubernur terakhir), Mario Lemos Pires, yang seharusnya bertanggung jawab memulihkan ketertiban dan keamanan justru mengevakuasi sebagian besar pasukan Portugis ke Pulau Atauro dan membiarkan koloni Portugal tersebut dalam kekacauan.

FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan memproklamirkan kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975. Partai pro-integrasi, yakni APODETI; UDT; TRABALHISTA; dan KOTA segera mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araujo (ketua APODETI) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (ketua UDT). Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Dari perbatasan NTT, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya. Tak lama kemudian, ABRI datang dan membebaskan Timor Timur dari kebiadaban FRETILIN. Upaya pembebasan itu dikenal dengan nama "Operasi Seroja".


MASA INTEGRASI INDONESIA

Gabungan partai yang pro integrasi membentuk PSTT (Pemerintahan Sementara Timor Timur) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araujo sebagai gubernur pertama serta Francisco Xavier Lopes da Cruz sebagai wakil gubernur. Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timor Timur menjadi provinsi yang paling unik, karena merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal, dimana provinsi Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda. Presiden Soeharto menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang hilang".

Berbagai infrastruktur mulai dibangun di provinsi termuda itu, mulai dari jalan beraspal hingga bandara. Bangunan sekolah mulai dari tingkat SD hingga universitas dibangun di Timor Timur. Bandara Komoro (sekarang Bandara Nicolau Lobato) dibangun di Dili sehingga berbagai pesawat dapat mendarat dan terbang ke dan dari Timor Timur. Banyak subsidi dari dana APBN dicurahkan untuk memajukan provinsi termuda ini. GNP per kapita Timor Timur sebesar $1.500 semasa integrasi. Presiden Soeharto juga memerintahkan pembangunan patung Kristus Raja yang menjadi ikon pariwisata Timor Timur dan simbol toleransi terhadap umat Katolik. Patung itu menjadi patung Yesus Kristus terbesar kedua di dunia setelah di Rio de Janeiro. Adalah suatu hal yang unik jika salah satu negara mayoritas Muslim terbesar memiliki patung Yesus Kristus terbesar kedua di dunia. Soeharto juga memerintahkan pendirian Monumen Integrasi berbentuk liurai dengan borgol yang terputus di kedua tangan untuk memperingati perjuangan heroik rakyat Timor Timur dari penjajahan Portugis hingga bersatu dengan Indonesia.

Para transmigran berdatangan untuk menggerakkan roda perekonomian Timor Timur. Para guru dan dokter didatangkan sehingga tingkat kesehatan dan pendidikan rakyat Timor Timur meningkat dengan cepat dibanding masa kolonial Portugis. Penggunaan bahasa Portugis dihapuskan dan diganti bahasa Indonesia untuk mengintegrasikan masyarakat Timor Timur dengan masyarakat Indonesia lainnya. Namun masyarakat Timor Timur tidak begitu terkejut dengan penggunaan bahasa Indonesia berkat jasa-jasa para tokoh APODETI yang dulu memromosikan bahasa Indonesia ke masyarakat Timor Timur. Tidak sedikit putra-putri Timor Timur yang melanjutkan studi hingga ke Pulau Jawa khususnya di Yogyakarta. Walaupun pihak separatis terus "menggonggong" menuduh TNI melakukan pembantaian terhadap orang-orang Timor Timur, ternyata ada banyak putra asli Timor Timur yang turut mengabdi menjadi prajurit TNI.

Namun PBB tidak pernah mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Setelah mencairnya Perang Dingin, Amerika Serikat dan Australia yang dulu mendukung Indonesia untuk segera menyatukan Timor Timur kini menjegal Indonesia dengan berbalik menuduh Indonesia telah menduduki Timor Timur dan melakukan pelanggaran HAM berat. Suatu tindakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia. Australia dan Portugal membantu perjuangan diplomasi FRETILIN dan CNRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorense, partai pecahan FRETILIN) sedangkan Indonesia harus berjuang sendiri. Untungnya ada beberapa negara mengakui Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia yaitu negara-negara ASEAN, Argentina, Arab Saudi, Irak, dll. Mengapa Australia dengan begitu munafik mendukung kemerdekaan Timor Timur? Karena Australia ingin menguasai ladang minyak di Celah Timor (Timor Gap). Australia dahulu mendukung proses integrasi Timor Timur ke Indonesia hanya karena takut bahaya komunis akan mencapai garis depan Australia jika Timor Leste merdeka sebab FRETILIN beraliran komunis.

Gerakan separatis semakin kuat dan kekacauan terjadi di seluruh Timor Timur. Untuk itu, ABRI segera membentuk berbagai kelompok milisi pro integrasi yang terdiri dari putra-putra asli Timor Timur. Nama-nama kelompok milisi yang dibentuk : Gadapaksi (Garda muda penegak integrasi), BMP (Besi Merah Putih), Saka, Sera, Mahidi (Mati hidup dengan Indonesia), Makikit, Halilintar, dll. Komando tertinggi kelompok-kelompok milisi tersebut berada di tangan Joao da Silva Tavares selaku panglima PPI (Pejuang Pro Integrasi). Para milisi siap menyerang pemberontak FALINTIL (Forcas Armadas da Libertacao Nacional de Timor Leste, sayap militer CNRT) dan para pendukung kemerdekaan dan menghancurkan tempat-tempat yang dianggap milik para pendukung kemerdekaan demi memertahankan integrasi. Salah satu aksi para milisi yakni mengepung dan menghancurkan rumah seorang tokoh CNRT, Manuel Viegas Carrascalao, sebab selama ini rumah tersebut dipakai untuk menampung 124 pendukung kemerdekaan. Di satu sisi, para pendukung kemerdekaan juga melakukan hal yang sama kepada para pendukung integrasi. Monumen Pancasila di Vikeke tidak luput menjadi salah satu sasaran pengrusakan kelompok pro kemerdekaan. Banyak warga sipil yang mengungsi ke perbatasan NTT untuk menghindari kekerasan yang terjadi di Timor Timur.

Setelah rezim Orde Baru jatuh, tahun 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie memutuskan untuk mengadakan referendum. Referendum tersebut penuh dengan kecurangan. Referendum tersebut berada di bawah tanggung jawab UNAMET (United Nations Mission in East Timor) dan dipenuhi dengan berbagai kecurangan. Perekrutan local staff diambil hanya dari orang-orang yang pro kemerdekaan atau yang akan memilih opsi merdeka. Sebagian besar lokasi TPS terletak di dekat pemukiman masyarakat pro kemerdekaan. Para orangtua dan saudara yang memiliki anak atau saudara anggota milisi pro integrasi dilarang memilih. Banyak orangtua yang dipaksa bahkan diancam untuk memilih opsi merdeka. Tanggal 5 Agustus 1999 di Bobonaro, salah seorang anggota UNAMET yang bertugas menerima pendaftaran berkata: "Kedatangan UNAMET hanya untuk bekerjasama dengan FALINTIL, bukan dengan Indonesia." Akibat dari ucapan ini, sempat terjadi keributan dengan pihak pro integrasi. Pernah juga terjadi kejadian di mana beberapa petugas Palang Merah asal Australia ditangkap karena membawa kartu referendum yang opsi merdeka telah dilubangi. Hasilnya 79% memilih merdeka, 21% memilih tetap bersatu dengan otonomi luas. Pertikaian kembali pecah pasca referendum karena para pendukung integrasi merasa kesal atas kecurangan yang terjadi selama referendum. Bagaimanapun Indonesia dengan terpaksa harus mengakui hasil referendum tersebut.


MASA PASCA INTEGRASI

Timor Timur berada di bawah PBB hingga tahun 2002. Tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur resmi diakui kemerdekaannya secara internasional. Timor Timur menjadi sebuah negara dengan nama "Republik Demokratik Timor Leste". Kay Rala Xanana Gusmao menjadi presiden pertama dan Mari Bin Amude Alkatiri menjadi perdana menteri pertama negara itu setelah melepaskan diri dari NKRI tahun 2002.

Walaupun telah merdeka, rakyat Timor Leste tetap hidup dalam kemiskinan bahkan semakin melarat. GNP per kapita yang awalnya $1500 turun drastis menjadi $300. Penggunaan dolar AS sebagai mata uang Timor Leste menyebabkan standar hidup menjadi tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Australia akhirnya berhasil memeroleh keinginannya, ladang minyak Celah Timor. Berdasarkan perjanjian, 80% hasil dari ladang minyak tersebut untuk Australia dan hanya 20% untuk Timor Leste. Harga BBM di Timor Leste sangat mahal sehingga tidak jarang mobil-mobil orang Timor Leste "minum" premium bersubsidi di Timor Barat padahal mereka tidak pantas mendapatkan itu sebab mereka bukan lagi warga negara Indonesia.

Pemerintah Timor Leste menerapkan bahasa Portugis dan bahasa Tetum sebagai bahasa nasional tetapi bahasa Portugis yang lebih diutamakan. Dengan begitu, pemerintah Timor Leste telah "sukses" memundurkan Timor Leste hingga 30 tahun ke belakang. Dalam semalam rakyat Timor Leste menjadi buta bahasa karena pada faktanya hanya kurang dari 3% dari seluruh penduduk Timor Leste yang fasih menggunakan bahasa Portugis. Sebagian besar yang bisa berbahasa Portugis berasal dari generasi tua. Mayoritas penduduk Timor Leste justru fasih berbahasa Indonesia karena selama 24 tahun mereka hidup bersatu dengan Indonesia.

Akibat dari kebijakan bahasa itu, wajah pendidikan Timor Leste turut menjadi bobrok. Sekolah diliburkan selama sembilan bulan hanya untuk memberi kursus bahasa Portugis kepada para guru Timor Leste. Pemerintah juga menawarkan kepada para pelajar beasiswa untuk melanjutkan studi di Portugal. Hasilnya banyak di antara mereka yang gagal dalam studi. Mereka hanya mendapat pelatihan bahasa Portugis selama lima bulan sebelum berangkat ke Portugal. Untuk ujian saringannya saja menggunakan bahasa Indonesia.

Pertikaian antar etnis juga sering terjadi. Pada tanggal 8 Februari 2006, lebih dari 400 pasukan Timor Leste etnis Loro Monu melakukan aksi mogok sebagai aksi protes karena merasa didiskriminasi. Pemerintah memecat sebanyak 594 pasukan etnis Loro Monu. Para prajurit desertir di bawah Mayor Alfredo Alves Reinado segera melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Kerusuhan juga terjadi di seluruh penjuru Timor Leste. Ratusan bangunan dibakar dan dijarah, sementara 20 orang dilaporkan tewas dalam pertikaian antara etnis Loro Monu dan Loro Sa'e. Pemerintah Dili tidak dapat mengendalikan pemberontakan tersebut hingga meminta bantuan militer Australia, Portugal, Selandia Baru, dan Malaysia tetapi hanya tentara Australia yang datang.

Pasukan PBB pun akhirnya turun tangan menjaga keamanan dan ketertiban di Timor Leste. Tanggal 29 Mei 2006, ratusan orang berdemonstrasi di luar istana presiden sambil meneriakkan yel-yel anti PM Mari Alkatiri karena pemerintahannya dianggap gagal. Di hari yang sama, sebuah gudang pangan milik pemerintah Timor Leste di lain tempat turut dijarah. Pada tanggal 11 Februari 2008, Presiden Jose Manuel Ramos Horta nyaris terbunuh oleh tembakan anak buah Mayor Alfredo Reinado, Amaro da Costa. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya keamanan di Timor Leste. Mayor Alfredo Reinado sendiri tewas beberapa hari kemudian. Tugas pasukan PBB di Timor Leste berakhir pada bulan Desember 2012 dan keamanan dan ketertiban kembali diserahkan kepada pemerintah Timor Leste.

Bagaimanapun masa terindah atau masa kejayaan Timor Timur bukan pada saat merdeka tetapi pada saat integrasi dengan Indonesia. Mungkin ada banyak orang Timor Leste yang kini tengah merindukan masa-masa integrasi di mana mereka bisa hidup sejahtera. Akankah mereka suatu saat kembali bersatu dengan Ibu Pertiwi? Semoga.